Jumat, 04 Juli 2008

ACTION BASED TRAINING

Bagi banyak perusahaan, training atau pelatihan karyawan telah menjadi salah satu elemen vital bagi proses pengembangan kompetensi sumber daya manusia mereka. Bahkan, sejumlah besar perusahaan mengalokasikan investasi yang relatif besar untuk mendidik dan melatih karyawan mereka.

Kegiatan training yang dilakukan oleh sebagian besar pelaksana training saat ini masih menganut metode konvensional yang didominasi dengan pola pengajaran di ruang-ruang kelas (class-room lecture). Dalam metode ini, selama sekitar 2 atau 3 hari, para instruktur akan menyampaikan sejumlah konsep, dan biasanya kemudian diikuti dengan aktivitas diskusi kelompok, role play atau latihan kasus (case exercise) guna membangkitkan partisipasi para peserta. Kita tahu, metode ini hanya akan efektif jika segera ditindaklanjuti dengan kegiatan pasca training untuk mendorong dan memonitor proses aplikasi materi training dalam pekerjaan sehari-hari.

Sayangnya, banyak pengelola training yang alpa untuk mengerjakan kegiatan pasca training ini dengan penuh kesungguhan. Padahal, justru dorongan dan monitoring yang kontinyu-lah yang akan memastikan dampak positif training terhadap kinerja karyawan. Sebaliknya, tanpa ada upaya tindak lanjut yang sistematis dan terprogram, maka materi training-training di ruang kelas selama 2 – 3 hari, akan mudah “menguap” hanya dalam hitungan bulan. Karena itu, tak heran jika sebuah riset menyebutkan training di ruang kelas yang tidak diikuti dengan tindak lanjut memiliki efektivitas yang rendah, hanya berkisar 30 % manfaatnya.

Didorong oleh kenyataan semacam itu, maka akhir-akhir ini berkembang inisiatif baru untuk melakukan apa yang disebut sebagai action-based training atau training yang berbasis pada aksi, yang memiliki filosofi dan metode yang berbeda dengan metode training konvensional. Terdapat beberapa ciri yang diusung oleh metode action-based training ini.

Yang pertama, kegiatan training ini biasanya dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu 6 hingga 12 bulan. Selama rentang waktu itu, para peserta bertemu tiap 2 atau 4 minggu sekali – masing-masing selama 2 – 4 jam. Melalui pertemuan yang berlangsung secara kontinyu ini diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang intensif dan berkesinambungan.

Ciri kedua yang juga amat menonjol dari metode ini adalah bahwa materi training harus didasarkan pada kasus nyata dan problem riil yang dihadapi oleh para peserta dalam pekerjaannya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa training ini disebut sebagai action-based training. Selanjutnya, para peserta diharuskan merumuskan projek atau aksi nyata (real action) sebagai solusi atas kasus atau problem riil tersebut.

Pada tahap berikutnya, para peserta juga diharuskan mengimplementasikan projek atau aksi nyata tersebut. Melalui pertemuan-pertemuan rutin setiap 2 – 4 minggu sekali, instruktur akan melakukan monitoring proses implementasi projek tersebut – dan sekaligus membagi lesson learning yang dialami para peserta selama proses implementasi. Lesson learning yang dibagikan menyangkut misalnya, bagaimana kerjasama tim (teamwork skills) dalam proses implementasi, bagaimana mereka berkomunikasi (communication skills) satu dengan yang lainnya, atau bagaimana mereka menyusun dan mengalokasikan tugas (planning and organizing). Jadi, mereka belajar mengenai ketrampilan komunikasi, kerjasama tim, dan lain lain, tidak melalui konsep atau teori belaka; namun melalui ‘pengalaman riil’ ketika mereka berproses mengimplementasikan projek atau action plan yang mereka kerjakan. Pendekatan semacam ini berangkat dari keyakinan bahwa peserta akan belajar dengan lebih efektif melalui pengalaman nyata (real experiences) daripada melalui ceramah-ceramah di ruang kelas.

Ciri ketiga yang juga menonjol dari metode ini adalah komitmen dan keterlibatan aktif para peserta, serta juga para atasannya masing-masing. Harus dicermati, bahwa projek atau aksi riil yang disusun dan diimplementasikan para peserta bisa jadi harus melibatkan otoritas lintas-fungsi; oleh karena itu, komitmen dari pihak manajemen untuk mendukung proses ini amat diperlukan.

Tentu saja, proses kegiatan action-based training ini lebih membutuhkan energi dan kerja keras dari pihak pengelola training; dibanding sekedar menyelenggarakan training 2 – 3 hari di ruang-ruang kelas yang terisolasi dari problem riil dilapangan. Namun, riset menunjukkan bahwa metode training semacam ini jauh lebih efektif dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja para peserta. Sekarang pilihannya tergantung pada Anda : mau terus menerus berkutat pada metode training konvensional, atau mulai bergerak untuk melakukan action-based training?

Tidak ada komentar: